Hukuman Kebiri bagi Pelaku Pedofilia, Perlukah? Sabda Inspirasi |
Sebagai bentuk respon atas fenomena ini, pada tanggal 25 Mei 2016 lalu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kemudian pada tanggal 9 November 2016, PERPU 1/2016 ini kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak Menjadi Undang-Undang, yang selanjutnya disebut UU No. 17 Tahun 2016. UU ini mengatur pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yaitu hukuman pidana mati, seumur hidup, dan maksimal 20 tahun penjara serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Selain itu, pelaku juga dapat dikenai tindakan kebiri kimia dan pemasangan pendeteksi elektronik.
Hukuman tambahan terkahir inilah yang kemudian memicu kontorversi sampai dengan saat ini. Pro kontra ini berlatar pada argumen masing-masing. Pihak pro berargumen bahwa, pemberlakuan hukuman ini merupakan upaya pencegahan dan pemberian efek jera yang dinilai efektif bagi pelaku yang masih mengulangi perbuatannya. Sedangkan pihak kontra beralasan bahwa pemberlakuan hukuman kebiri dinilai melanggar HAM. Tensi pro dan kontra semakin naik setelah IDI (Ikatan Dokter Indonesia) menyatakan sikap resminya untuk menolak jika ditunjuk sebagai eksekutor. IDI beralasan bahwa pelaksanaan eksekusi ini oleh dokter dinilai melanggar kemanusiaan, sumpah dokter, dan kode etik profesi kedokteran di Indonesia. Beberapa kalangan menyuarakan bahwa ada alternatif lain selain hukuman kebiri, yaitu dengan menambah masa tahanan.
Atas munculnya kontoversi tersebut serta penolakan IDI untuk menjadi eksekutor hukuman, pekerjaan rumah bangsa ini terutama pemerintah untuk menanggulangi ancaman pedofilia menjadi semakin berat. Pemerintah harus mencari opsi eksekutor lain di luar IDI. Misalnya dengan bekerjasama dengan fasilitas-fasilitas kesehatan di tubuh TNI atau POLRI. Selain itu, perlu diatur secara jelas bagaimana mekanisme penerapan hukuman pemberatan ini. Atau kalau memang tidak memungkinkan dilaksanakan, opsi lain adalah dengan merevisi Undang-Undang, yang sudah barang tentu akan melalui proses mekanisme yang rumit dan panjang.
Baca: Ngaji ala Jagong Maton: "Wejangan Bapakku"
loading...
Menyikapi penolakan IDI dan argumen dari pihak yang kontra terhadap pemberatan hukuman ini, ada baiknya mereka juga mempertimbangkan pelanggaran HAM yang dialami oleh korban. Bagaimana trauma yang dialami. Bagaimana masa depan mereka. Terlebih lagi, mereka adalah aset-aset bangsa yang seharusnya dijaga dari segala macam ancaman marabahaya. Terlintaskah di benak mereka, bagaimana jika trauma yang dialami korban menimbulkan efek jangka panjang. Seperti kemungkinan menderita depresi, Sindrom Trauma Perkosaan, Disosiasi, Gangguan makan, dan Hypoactive sexual desire disorder (Sumber: www.hellosehat.com). Terlebih mereka semua masih di bawah umur. Terbayangkan jugakah bagaimana perasaan orangtua mereka?
Selain itu, jangankan hukuman kebiri, hukuman mati pun di negeri ini masih berlaku dan masih diratifikasi oleh PBB. Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pembunuhan berencana. Ancaman hukuman maksimal bagi pelaku adalah hukuman mati. Selain di KUHP, pengaturan hukuman mati juga terdapat dalam UU Narkotika. Sedangkan pelaksanaannya diatur dalam UU No. 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati (Sumber: www.gresnews.com).
Sehingga, sekali lagi perlu dicermati bahwa, pemberatan hukuman merupakan upaya pencegahan agar kejahatan tidak berulang, atau semakin meningkat. Lebih-lebih pada kejahatan yang levelnya luar biasa, sebagaimana kejahatan pedofilia ini. Di samping itu, esensi dari hukuman adalah pemberian efek jera dan pembelajaran. Jika hukuman atau sanksi yang ada tidak mampu memberikan efek jera, lalu apa harus dibiarkan?
Penulis: Sigit Priatmoko, M.Pd. (Dosen UNISDA Lamongan dan Anggota Komunitas Literasi Kita Belajar Menulis (KBM) Bojonegoro)
Publisher: Chandra Djoego